(Pembahasan agak panjang, Silahkan baca kesimpulan untuk singkatnya)
Terdapat metode pengobatan yang disebut dengan stem cell atau sel punca yang bisa menggantikan sel yang rusak atau sel yang mati, misalnya mengganti sel jantung pada kerusakan jantung, mengganti sel saraf pada kasus stroke dan sebagainya.
Metode yang kami ketahui yaitu menggunakan plasenta bayi atau sel darah yang ada di plasenta bayi. Sehingga poin yang perlu dibahas dalam masalah ini adalah:
1) Hukum berobat dengan plasenta dan bagiannya
2) Hukum berobat dengan zat darah
√ Berobat dengan plasenta manusia
Kami mendapatkan fatwa Syaikh Muhammad bi Shalih Al-Utsaimin membolehkannya, secara kedokteran ilmu embriologi hakikatnya plasenta bukanlah bagian dari organ tubuh bayi tersebut. Jika memang teranggap organ, maka organ manusia hukum asalnya suci.
Pertanyaan berikut diajukan kepada Fadhilatus syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin: “Apa hukum menyimpan plasenta untuk pengobatan kanker dan menghilangkan kerutan di wajah?”
Beliau menjawab: “secara dzahir hal tersebut tidak mengapa selama berita tersebut benar (bisa menyembuhkan)”.
Tanya: “apakah bisa diterapkan kaidah “apa yang terpotong dari orang hidup maka dianggap mayyit”
Beliau menjawab: “mayyit manusia hukumnya suci”.
Tanya: “jika ternyata tidak bermanfaat (tidak bisa mengobati) apakah wajib menguburkannya? Atau dibuang di mana saja?”
Beliau menjawab: “secara dzahir plasenta sebagaimana kuku dan rambut (jadi bisa dikubur di mana saja dan tidak ada ritual khusus, pent), Wallahu ‘alam”1.
√ Hukum berobat dengan zat darah manusia
Terkait hal ini ada dua pembahasan juga:
1) Apakah darah manusia itu najis atau tidak sehingga bisa digunakan, semisal dioleskan atau dicampurkan
2) Apa hukum memanfaatkan darah manusia
1) Apakah darah najis atau tidak?
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran, wallahu a’lam, darah manusia tidaklah najis, berikut sedikit penjelasannya
Dalil yang menyatakan darah adalah najis
Dalil yang menyatakan darah adalah najis
Berdasarkan ayat.
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Al An’am: 145).
Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah menyatakan ijma’ bahwa darah adalah najis. Beliau berkata,
الدلائل على نجاسة الدم متظاهرة ، ولا أعلم فيه خلافا عن أحد من المسلمين
“Dalil-dalil mengenai kenajisan darah jelas, aku tidak mengetahui adanya khilaf salah satupun di antara kaum muslimin”2.
Imam Ahmad rahimahullah ditanya mengenai darah,
لدم والقيح عندك سواء ؟
“apakah darah dan muntahan sama menurutmu?”
فقال : الدم لم يختلف الناس فيه ، والقيح قد اختلف الناس فيه
Beliau menjawab: “Darah tidak diperselisihkan oleh manusia (kenajisannya), adapun muntahan maka diperselisihkan”3.
Begitu juga Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya: “Orang yang ada sedikit darah di bajunya, apakah ini shalat dengan baju tersebut atau ia menunggu (misalnya kedaaan dokter setelah operasi) sampai ada baju yang bersih baginya?”.
Beliau menjawab:
“Ia shalat dengan keadaannya saat itu jika tidak memungkinkan membersihkan/mencucinya atau menggantinya dengan yang bersih/suci, ia shalat sebelum keluar waktunya. Berdasrakan firman Allah Ta’ala,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“bertakwalah semampu kalian” (At-Taghabun: 16).
Wajib bagi seorang muslim agar mencuci/membersihkan darah atau menggantinya dengan pakaian yang bersih jika ia mampu. Jika tidak mampu maka ia shalat sebagaimana keadaannya. Ia tidak perlu mengulang shalatnya sebagaimana keterangan dari ayat dan sebagaimana pula Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ما نهيتكم عنه فاجتنبوه وما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم
“Apa yang aku larang maka jauhilah dan apa yang aku perintahkan maka lakukanlah sesuai dengan kemampuan kalian” (Muttafakun ‘alaihi)4.
Dalil yang menyatakan darah tidak najis
Inilah pendapat yang lebih kuat dengan beberapa alasan:
Pertama: hukum asal sesuatu suci, sampai ada dalil yang mengharamkan
Kedua: makna rijs (dalam surat Al-An’am 145) maknanya bukan najis secara hakikat akan tetapi najis maknawi. sebagaiman Allah Ta’alaberfirman tentang kaum munafikin, “Berpalinglah kalian darinya karena sesungguhnya mereka adalah rijs,” (QS. At-Taubah: 95) yakni najis kekafirannya tapi tidak kafir tubuhnya.
Ketiga: para sahabat dahulunya berperang dengan luka di tubuh dan baju tetapi tidak ada perintah untuk membersihkannya. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,
مَا زَالَ الْمُسْلِمُونَ يُصَلُّونَ فِى جِرَاحَاتِهِمْ
“Kaum muslimin (yaitu para sahabat) biasa mengerjakan shalat dalam keadaan luka”5.
Begitu juga kisah ketika Umar bin Khattab ditusuk oleh Abu Lu’luah Al Majusi, beliau berkata,
وَلَا حَظَّ فِي الْإِسْلَامِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu ‘Umar shalat dalam keadaan darah yang masih mengalir”6.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari manusia selain dua jalan (keluar dari qubul dan dubur) tidak membatalkan wudhu baik sedikit ataupun banyak semisal darah mimisan dan darah yang keluar dari luka”7.
Keempat: Mayat manusia adalah suci, maka terlebih lagi darah yang ada di dalamnya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ المُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Jasad seorang mukmin tidaklah najis.”
Dalam Shahih Al Hakim disebutkan,
حَيًّا وَلَا مَيتًا
“Baik hidup ataupun saat mati.”
2) Apakah hukum memanfaatkan darah manusia?
Secara umum darah diharamkan untuk dimakan sebagaimana dalam ayat berikut,
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi…” (QS. Al- Baqarah: 173).
Ulama menjelaskan suatu kaidah berdasarkan hadits, jika sesuatu diharamkan memakannya maka di haramkan juga untuk menjualnya dan memanfaatkannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِم ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan kepada suatu kaum memakan sesuatu maka (Allah) haramkan harganya atas mereka”8.
Dewan fatwa Islamweb dibawah bimbingan Syaikh Abdullah Al-Faqih menjelaskan,
“Adapun menjual darah maka tidak ada khilaf para ulama akan keharamannya, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah mengharamkan darah, dan menegaskan haramnya langsung dinisbatkan pada dzatnya (yaitu darah), maka haram di sini mencakup secara umum penggunaan dari berbagai bentuk pemanfaatan”9.
Adapun jika daurat dan hanya jalan satu-satunya, maka boleh menggunakan darah sebagaimana fatwa ulama yang sudah sangat banyak mengenai bolehnya tranfusi darah manusia asalkan darah tersebut tidak diperjualbelikan.
Allah Ta’ala berfirman.
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (Al-An’am : 199)
Ibnu ‘Abidin berkata,
يجوز للعليل شرب البول والدم والميتة للتداوي إذا أخبره طبيب مسلم أن شفاءه فيه ، ولم يجد من المباح ما يقوم مقامه
“Boleh berobat dengan meminum kencing, darah, mengkonsumsi mayat, jika memang diberitahu oleh dokter muslim yang terpercaya dan tidak didapatkan obat mubah lainnya”10.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa darah penggunaan/memanfaatkan darah hukum asalnya adalah haram, kecuali jika keadaan darurat dan merupakan satu-satunya jalan.
Kesimpulan
Kesimpulan dari pembahasan di atas:
1) Boleh menggunakan plasenta manusia untuk pengobatan
2) Pendapat terkuat darah manusia adalah tidak najis
3) Hukum asalnya haram memanfaatkan darah manusia kecuali jika darurat
4) Stem sel dengan menggunakan darah para plasenta termasuk hukum memanfaatkan darah manusia, maka hukum asalnya adalah haram. Kecuali jika digunakan untuk pengobatan darurat dan merupakan jalan satu-satunya sebagaimana transfusi darah dan terbukti berhasil secara ilmiah melalui penelitian, bukan hanya berdasarkan praduga saja atau masih belum jelas hasilnya.
Demikian semoga bermanfaat.
***
@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa besar
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
1. Sumber: http://islamqa.info/ar/ref/3794
2. Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab, 2/576
3. Syarh Umdatul Fiqh, 1/105
4. Sumber: http://www.binbaz.org.sa/fatawa/2458
5. HR. Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dalam kitab shahihnya
6. HR. Malik dalam Muwatha’nya (2/54)
7. Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Syaikh Ibnu Al Utaimin
8. HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya 1/247, 293 dan 322 dan Abu Dawud no. 3488
9. Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php…
10. Raddul Muhtaar ‘Alad durri mukhtaar
0 comments:
Post a Comment