Seiring majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, sejumlah ilmuwan
sudah mampu merekayasa genetika untuk berbagai kepentingan manusia.
Penerapan teknik-teknik biologi molekuler untuk mengubah susunan genetik
dalam kromosom hewan atau tumbuhan telah berhasil sehingga bisa
mengubah sistem ekspresi genetiknya.
Tujuannya untuk menciptakan suatu jenis baru yang lebih sesuai
dengan selera manusia. Hasil-hasil dari rekayasa genetika seperti tomat
yang bewarna ungu, buah grapple hasil perpaduan apel dan anggur, buah
cucamelon merupakan buah hasil rekayasa yang mengombinasikan tiga jenis
buah, yakni semangka, mentimun, dan jeruk nipis.
Saat ini sudah ratusan produk rekayasa genetika yang tersebar di seluruh dunia. Bagaimanakah pandangan syariat dalam hal ini?
Fatwa MUI
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2013 pernah mengkaji hal
ini. Hasil kajian MUI, gen atau DNA (deoxyribose nucleac acid) adalah
substansi pembawa sifat menurun dari sel ke sel dan generasi ke
generasi.
Semua itu terletak dalam kromosom yang memiliki sifat antara lain
sebagai materi tersendiri yang terdapat dalam kromosom. Karena
mengandung informasi genetika, hasil rekayasa genetika ini dapat
menentukan sifat-sifat dari suatu individu dan dapat menduplikasi diri
pada peristiwa pembelahan sel.
Rekayasa genetika adalah penerapan genetika untuk kepentingan
manusia. Penerapan teknik-teknik biologi molekuler untuk mengubah
susunan genetik dalam kromosom atau mengubah sistem ekspresi genetik
yang diarahkan pada kemanfaatan tertentu.
Objeknya mencakup hampir semua golongan organisme. Mulai dari
bakteri, fungi, hewan tingkat rendah, hewan tingkat tinggi, hingga
tumbuh-tumbuhan.
Syarat Lakukan Rekayasa Genetika
Menurut fatwa MUI, melakukan rekayasa genetika terhadap hewan,
tumbuh-tumbuhan, dan mikroba (jasad renik) adalah mubah (boleh). Namun,
MUI memberi beberapa persyaratan terkait kebolehannya. Dari segi tujuan,
rekayasa genetika yang dilakukan tersebut untuk kemaslahatan dan punya
aspek kebermanfaatan bagi manusia.
Di samping itu, hasil dari rekayasa genetika ini tidak membahayakan
atau tidak menimbulkan mudarat, baik bagi manusia maupun lingkungan.
MUI juga mensyaratkan, tidak boleh menggunakan gen atau bagian lain yang
berasal dari tubuh manusia.
Tumbuh-tumbuhan hasil rekayasa genetika halal untuk dikonsumsi
dengan syarat telah teruji tidak menimbulkan mudarat atau membahayakan.
Demikian juga rekayasa genetika pada hewan dihukum halal untuk
dikonsumsi.
Syaratnya, hewannya tersebut termasuk dalam kategori ma'kul al-lahm (jenis hewan yang dagingnya halal dikonsumsi). Sedangkan, rekayasa genetika yang dilakukan pada tubuh manusia adalah haram menurut kesepakatan ulama.
Syaratnya, hewannya tersebut termasuk dalam kategori ma'kul al-lahm (jenis hewan yang dagingnya halal dikonsumsi). Sedangkan, rekayasa genetika yang dilakukan pada tubuh manusia adalah haram menurut kesepakatan ulama.
Ulama yang membolehkan berdalil dengan kaidah ushul fikih al-umuru
bimaqasidiha (hukum sesuatu yang mubah tergantung dari tujuan
penggunaannya). Jika tujuan dari rekayasa genetika ini untuk
kemaslahatan manusia, tentu diperbolehkan bahkan dianjurkan.
Rekayasa Genetika di Era Rasulullah
Rekayasa genetika dalam konsep yang sederhana sebenarnya pernah
dipraktikkan di zaman Nabi SAW. Dalam riwayat dari Anas bin Malik RA,
Rasulullah SAW pernah berdiskusi dengan sekelompok sahabat yang
melakukan pembenihan bibit kurma.
Rasulullah SAW bersabda,
"Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian." (HR Muslim, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban).
Hadis ini menjadi dalil pembolehan bagi kaum intelektual untuk
bereksplorasi dan menemukan model pembibitan yang lebih baik. Soal
urusan duniawi, tak ada larangan untuk membuat konsep baru. Berbeda
dengan urusan akidah dan ibadah yang masuk kategori bid'ah.
Adapun sekelompok pihak yang mengatakan rekayasa genetika adalah
haram karena meniru atau mengubah ciptaan Allah SWT sebenarnya telah
dipatahkan dengan kaidah fikiha al-aslu fil asya'a al-ibahah (hukum asal segala sesuatu adalah boleh).
Beberapa kalangan ada juga yang alergi dengan rekayasa genetika karena teori ini diperkenalkan Charles Darwin dalam bukunya, The Orgin of Species. Namun, tentu saja pengambilan istinbath hukum merujuk pada nas-nas yang sarih (jelas). Wallahu'alam. (rol) jurnalhajiumroh
0 comments:
Post a Comment